Selasa, 26 Juli 2011

PSS Lebih Nyaman, Tolak Gaji Besar Persisam dan Persiram

Mengenal Dekat Nano “Mbah Jo” Astianto, Masseur PSS Sleman
PSS Lebih Nyaman, Tolak Gaji Besar Persisam dan Persiram


Meskipun penting, posisi masseur di sebuah tim sepakbola sering dipandang sebelah mata. Jauh kalah populer dibandingkan pelatih, apalagi pemain. Padahal, jasa mereka tak kalah besar bagi sebuah tim. Seperti masseur PSS Sleman Nano Astianto.

Gita Timur, Sleman Perawakannya yang gemuk plus pembawaanya yang ceria membuatnya akrab dengan para pemain, tim pelatih, bahkan jajaran manajemen. Itulah Nano Astianto, 42,. Pria yang akrab disapa Mbah Jo, masseur yang menemani langkah PSS musim ini.
Meskipun posisiny
a sebagai masseur, tak jarang Mbah Jo ikut turun tangan membantu tugas lainnya. Lihat saja, usai laga uji coba PSS Sleman v Tunas HW beberapa waktu yang lalu,
dia sibuk mengumpulkan perlengkapan yang baru saja digunakan untuk melakukan pertandingan. Seperti bola dan mangku
k- mangkuk plastik yang digunakan sebagai pembatas lapangan pertandingan. Bahkan, gelas gelas bekas air mineral yang berserakan di sekitar bench pemain pun turut dibersihkannya.  "Biar bersih mas," ujar bapak dua anak ini tanpa memedulikan bahwa itu sejatinya bukan tanggungjawabnya.
Sembari beristirahat di mess pemain yang berada di lantai atas Stadion Maguwoharjo, dia mengisyahkan perjalanan profesinya. Lahir dari keluarga pemijat, Mbah Jo serius menekuninya sejak tahun 1990an, ketika belajar memijat dari almarhum kakaknya.
Sejak itu, dia pun membantu praktek kakaknya di bilangan Pajang, Surakarta. Usaha turun- temurun itu harus dia lanjutkan setelah sang kakak meninggal tahun 1996.
Karir menjadi masseur di klub sepakbola dimulai 2006 setelah diajak sang  keponakan untuk menjadi masseur di Persis Solo. Dia menggantikan posisi keponakannya yang menjadi pemijat di tim kebanggaan warga Kota Bengawan semusim sebelumnya.”Mulai saat itu saya menjadi pemijat bagi atlet professional. Sedangkan praktik pijat saya serahkan adik,” ujarnya.
Kestiannya menjadi masseur tim berjuluk Laskar Samber Nyawa itu bertahan hingga empat musim, sebelum akhirnya pindah ke klub lain dengan alas an pribadi. Pengalamannya menjadi masseur membuat s
ejumlah klub menawarinya untuk bergabung. Tercatat Persisam Samarinda dan Persiram Raja Ampat menawari pria murah senyum ini untuk bergabung.
Tawaran gaji besar tak membuatnya terpikat. Alasan ingin dekat dengan keluarga, membuat Mbah Jo lebih memilih PSS Sleman. "Saya senang di sini (PSS, Red). Suasananya nyaman. Biar gajinya tidak seberapa, yang penting perasaan tenang. Terlebih lagi saya tidak perlu jauh- jauh dari keluarga," katanya beralasan.
Secara teknik, Mbah Jo memang cukup menguasai pijat memijat ini. Menurutnya, memijat atlet berbeda dengan memijat orang kebanyakan. "Kalau orang biasa, biasanya minta dip
ijat karena kecapekan. Tapi kalau atlet, dipijat karena yang bersangkutan mengalami cedera," jelasnya.
Dia juga mengakui dirinya tidak bisa mengatasi semua jenis cedera yang dialami atlet. Untuk cedera engkel misalnya, dia mengatasinya dengan jalan diurut. Dan itu bisa membuat pulih dua sampai tiga hari. Namun bila pemain tersebut terkena cedera hamstring maupun bebera cedera lain, Mbah Jo tidak berani sembarangan mengurut. "Kalau seperti hamstring mas, paling saya hanya mengolesnya dengan salep sebagai pertolongan pertama. Selanjutnya dokterlah yang merawat," tambah Mbah Jo.
Wing back PSS Sleman Agus Purwoko mengaku puas dengan pijatan si Mbah.  Pemain yang akrab disapa Grandong ini tak terbilang lagi berapa kali mendapat “sentuhan tangan” Mbah jo. Sedangkan Ferry Anto, striker yang berasal Solo menilai pijatan sang masseur masih kurang. ”Mijatnya kurang lama maksudnya," ujar Ferry sambil terkekeh.

[radar jogja]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar